Senin, 12 April 2010

UN DAN REKAYASA IMAJINASI EDUKASI

Kembali anak didik jenjang pendidikan menengah disibukkan dengan penyelenggaraan Ujian Nasional. Proyek barometer” kualitas pendidikan nasional akan terselenggara pada akhir maret 2010. Berbagai persiapan menyongsong UN dilakukan baik oleh kalangan siswa (anak didik) yang akan menjadi “objek” berbagai materi soal UN yang dikembangkan BSNP (badan Standar Nasional pendidikan), serta unsur pelaksana teknis UN.
Tak luput UN yang dianggap sakral oleh pemegang policy pendidikan akan melibatkan unsur aparatus keamanan, untuk mencegah praktek kecurangan pra pelaksanaan UN. UN memang seolah menjadi “hari penghakiman” yang menentukan lulus tidaknya siswa yang selama 3 tahun menjalani proses kegiatan belajar-mengajar. UN juga menjadi instrumen politis pendidikan, yang merebut “hak profesional” guru dalam tugas evaluasi kegiatan belajar-mengajar.
Pelaksanaan UN sendiri ibaratnya sebuah kegiatan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Menjadi peristiwa yang menarik minat para investor konsultan pendidikan, untuk mendirikan berbagai lembaga kursus dan institusi bimbingan pendidikan yang menawarkan strategi jitu penyelesaian soal-soal UN secara mudah, praktis kepada para siswa. Lembaga bimbingan pendidikan yang menjamur dari kota besar sampai pelosok desa telah mengakhiri proses autentik fungsi edukasi guru terhadap para siswanya.
UN 2010 bagi pemegang “mandat” politik pendidikan, tetap dikedepankan sebagai sarana meningkatkan mutu pendidikan nasional. Grade standar nilai kelulusan yang ditingkatkan, akan memiliki dimensi signifikansi untuk menentukan bahwa mayoritas generasi pembelajar di negeri ini meningkat kualitasnya apabila mampu lulus dalam UN.
Kiblat standar nilai kelulusan UN sedapat mungkin dikomparasikan dengan standar kelulusan UN dinegara lain, yang dianggap maju selangkah dibanding Indonesia. Meskipun logika berfikir demikian jelas salah kaprah dipandang dari filosofi pendidikan yang memiliki muatan kompetensi. Pendidikan yang berkompetensi menghasilkan alumni yang menguasai disiplin ilmu pengetahuan dan memiliki kecakapan akademik yang memiliki relasi sosial dan relasi ekonomi. Nah, bisakah disebut berkualitas apabila soal-soal UN yang sifatnya teoritik menjadi penanda tentang kecerdasan kolektif siswa. Apalagi model dan karakter soal UN telah dipelajari serta dicarikan jalan mudah penyelesaiannya
melalui kegiatan belajar ekstra diluar sekolah?
UN 2010 ini tetaplah dibayangi aneka kecurangan. Kecurangan yang sifatnya sistemik, personal, dan kultural. kecurangan sistemik bisa terjadi diberbagai lini dan aktivitas penyelenggaraan UN. Kecurangan personal bisa dilakukan oleh para siswa yang menjadi “objek” dari UN atau para guru yang tidak tega anak didiknya untuk tidak lulus dalam UN. Kecurangan kultural bisa dilakukan multipihak yang ingin adanya kelulusan 100 % bagi siswa dengan berbagai motivasi.
UN sendiri yang “dipaksakan” dilaksanakan meski ada keputusan MK yang melarang penyelenggaraan UN, dalam pembacaan metodologi berfikir bisa dikatakan sebagai “rekayasa imajinasi edukasi”. Sebuah rekayasa untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan imajinasi yang tidak memiliki logika dialektis yang ditopang oleh data kebermanfaatan.
Sebagai rekayasa Imajinasi edukasi, UN mengandaikan tentang “moral” keberhasilan. Moral keberhasilan yang harus dicapai siswa dalam meluluskan diri dari limit standar kelulusan UN. mereka yang lulus UN dianggap bermoral, dalam label pelajar yang cerdas dan pintar. Pelajar yang menguasai materi bahan ajar yang selama 3 tahun
diajarkan disekolah.
UN juga menciptakan sebuah berfikir khayali bahwa mutu pendidikan nasional akan meningkat apabila standar kelulusan meningkat dan UN terselenggara dengan “jujur, bersih, dan bebas kecurangan”. Benarkah demikian? jelas tidak! Karena UN adalah memainkan prinsip kecurangan karena ada diskriminasi. Karena siswa dari keluarga miskin
yang tidak bisa mendapatkan materi ekstra pembelajaran dilembaga tentor belajar harus bersaing dengan siswa dari keluarga mampu yang bisa berlatih soal dan mendapatkan fasilitas training pengerjaan soal.
UN juga mengkompetisikan antara sekolah dipelosok desa yang mayoritas siswanya belajar dengan fasilitas sederhana dengan sekolah berlabel unggulan yang memiliki sarana pembelajaran yang canggih. UN juga tidak melibatkan peran guru dalam merumuskan pola dan karakter soal teoritik yang mengabaikan kecakapan non teoritik siswa.
Bisa diprediksikan sebagai rekayasa imajinasi edukasi UN yang akan dijalani para pembelajar, hanya menghasilkan capaian angka statistik keberhasilan yang semu. Keberhasilan dari prosentase angka kelulusan yang belum tentu siap bersaing dilevel kecakapan akademik skala global.
produk UN boleh jadi adalah kebanggaan dan eksistensi palsu tentang “kepintaran”. kepintaran mengerjakan soal, namun bukan proses menjadi pintar yang mengintelektual. Akhirnya selamat terselenggara UN, dan bagi siswa-siswa “objek’ UN kerjakanlah UN dengan hati serta segala kerja keras belajar. Belajar memahami jawaban atas serangkaian
soal teoritik yang dihadapi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar